Dekarbonisasi Industri Baja: Kolaborasi Strategis untuk Masa Depan Berkelanjutan
Sumber: IISIA
Pada Jumat, 26 April 2024, terdapat serangkaian pertemuan antara Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) dengan tiga lembaga/perusahaan: Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), PT Krakatau Posco (PTKP), dan Surveyor Indonesia. Fokus utama ketiga pertemuan ini adalah dekarbonisasi industri baja, sebuah permasalahan yang mendesak dan memerlukan kerjasama lintas batas.
Diskusi dengan OECD membahas teknologi rendah karbon yang dapat diadopsi oleh industri besi dan baja nasional, dan menggarisbawahi berbagai hambatan dalam penerapannya. Sementara itu, pertemuan dengan PTKP menyoroti implementasi Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) oleh Uni Eropa (UE) dan dampaknya terhadap industri baja. Sedangkan, pembicaraan dengan Surveyor Indonesia mengangkat aspek Environmental, Social, and Governance (ESG) serta skema karbon yang relevan bagi industri baja di Indonesia.
Pada periode 2016-2019, emisi karbon dari sektor industri baja Indonesia telah mengalami peningkatan yang signifikan. Awalnya, pada tahun 2016, Indonesia menunjukkan tingkat emisi yang relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara produsen baja utama lainnya seperti Tiongkok dan Jepang, serta rata-rata dunia. Namun, pada tahun 2019, emisi karbon sektor industri baja Indonesia melonjak tajam, mencapai level yang jauh melebihi standar global. Penyebab dari lonjakan emisi karbon tersebut terletak pada investasi dalam teknologi berbasis batu bara seperti blast furnace-blast oxygen furnace (BF-BOF) dan rotary kiln electric furnace (RKEF). Meskipun terjadi peningkatan signifikan dalam emisi karbon dari sektor industri baja nasional, kontribusi relatifnya terhadap emisi karbon global tetaplah kecil. Mengingat tingkat produksi baja nasional hanya mencapai kurang dari 1% dari total produksi baja global.
Meskipun emisi karbon, khususnya di sektor industri baja, telah menjadi isu krusial yang menarik perhatian global. Kesepakatan global atas target karbon netral di industri baja masih belum terwujud sepenuhnya, seperti yang dinyatakan dalam laporan dari Green Steel Tracker. Hanya terdapat 2 perusahaan baja yang menargetkan karbon netral sebelum 2050 yaitu SSAB dan Tata Steel. Terdapat 16 perusahaan yang menargetkan karbon netral pada tahun 2050, dan bahkan setelah 2050 masih ada 2 perusahaan yang menargetkan karbon netral. Sementara sebagian besar perusahaan lainnya belum menyatakan target waktu untuk mencapai karbon netral. Hal ini terjadi karena, langkah inisiatif yang dilakukan oleh masing-masing perusahaan sangat ditentukan oleh pertimbangan daya saing industri dan dukungan kebijakan pemerintah.
Kesepakatan global atas target karbon netral di industri baja memang belum sepenuhnya terwujud. Namun, terdapat dorongan kuat menuju dekarbonisasi di sektor industri baja, terutama di Uni Eropa. Industri di UE saat ini menjadi pelopor dalam mengganti teknologi konvensional dengan teknologi yang lebih ramah lingkungan, karena industri bajanya sedang menghadapi siklus 20 tahunan untuk melakukan investasi perubahan teknologi. Hal ini menciptakan peluang yang baik untuk mengadopsi teknologi NZE.
Namun, transformasi ini tidaklah mudah. CapEx yang besar diperlukan untuk melakukan dekarbonisasi, dan diperkirakan biaya produksi juga akan meningkat hingga 20-30%. Menurut World Economic Forum, biaya untuk memproduksi baja ramah lingkungan (green steel) bahkan bisa naik 20-50% dibandingkan dengan produksi baja menggunakan jalur konvensional. Oleh karena itu, dukungan finansial dari negara sangat penting untuk memfasilitasi transformasi teknologi rendah emisi karbon di sektor industri baja, sebagaimana tercermin dalam upaya dan kebijakan dari berbagai negara di dunia yang ditunjukkan pada Gambar 1.
Selain dukungan finansial, untuk berhasil melakukan dekarbonisasi industri baja, diperlukan dukungan lain dalam bentuk aliansi untuk green steel, green procurement, dan perlindungan pasar green steel. Berbagai negara, lembaga, institusi, asosiasi industri, dan perusahaan dalam ekosistem industri baja global telah berkomitmen untuk mendorong tercapainya target NZE di sektor ini, menyadari bahwa NZE adalah komitmen bersama dan bukan hanya komitmen industri baja. Langkah penting lainnya dalam mendorong transisi menuju NZE adalah melalui green procurement, sebuah kebijakan yang efektif untuk meningkatkan permintaan akan green steel. Selanjutnya, untuk melindungi produsen baja yang telah berinvestasi dalam teknologi NZE dan mengalami peningkatan biaya produksi yang signifikan, Uni Eropa telah menerapkan kebijakan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM), yang bertujuan untuk memberikan hambatan bagi produsen baja dari luar UE yang belum mengadopsi teknologi NZE untuk memasuki pasar UE. Selain itu, dukungan lain seperti kebijakan untuk industri hulu dan hilir, insentif investasi, dan pemberian dana hibah untuk penelitian dan pengembangan juga sangat diperlukan. Semua ini harus dilakukan secara bersama-sama dan berkelanjutan untuk memastikan bahwa industri baja dapat bergerak menuju target NZE.
Sementara itu, untuk industri baja nasional, penurunan emisi dapat dilakukan secara bertahap seperti yang ditunjukkan Gambar 2. Dengan mempertimbangkan beberapa aspek seperti regulasi/kebijakan pemerintah, daya saing industri, teknologi eksisting dan ketersediaan opsi teknologi NZE, Capex, tuntutan dan dukungan pemangku kepentingan.
Saat ini, terdapat tiga opsi kelompok transformasi teknologi NZE untuk menghasilkan green steel yang dapat dipertimbangkan, seperti pada Gambar 3. Pilihan teknologi NZE yang feasible bagi industri baja akan sangat bergantung pada fasilitas eksisting yang dimiliki, ketersediaan renewable energy, maturitas teknologi, dukungan kebijakan pemerintah, CapEx dan conversion cost.
Industri baja nasional saat ini memiliki potensi untuk mengembangkan teknologi NZE yang menghasilkan green steel dengan menggunakan jalur electric arc furnace (EAF). Melalui jalur ini, produksi green steel dapat dilakukan tanpa adopsi teknologi baru, selama energi yang digunakan berasal dari sumber energi terbarukan (renewable energy) dan tersedia cukup banyak bahan baku scrap. Di sisi lain, untuk jalur blast furnace-blast oxygen furnace (BF-BOF) diperlukan adopsi teknologi baru untuk menghasilkan green steel, yang memerlukan dukungan serupa dengan yang diperoleh industri baja global.
Sejauh ini, sejumlah langkah telah diambil oleh industri baja nasional dalam mengembangkan teknologi rendah emisi, di antaranya adalah upaya yang dilakukan oleh PT Gunung Raja Paksi Tbk dan PT Krakatau Posco. Informasi lebih lanjut mengenai langkah-langkah ini dapat ditemukan dalam tautan berikut Green Steel di Indonesia: Mewujudkan Keberlanjutan dalam Industri Baja. Dengan adanya upaya seperti ini, diharapkan industri baja nasional dapat secara berkelanjutan menuju masa depan yang lebih ramah lingkungan.
Dekarbonisasi menjadi prioritas dalam industri baja, memicu rangkaian dialog yang bertujuan untuk menemukan solusi terbaik bagi tantangan global ini. Melibatkan berbagai pihak seperti lembaga internasional, pemerintah, dan institusi riset menjadi kunci dalam merumuskan strategi komprehensif dan berkelanjutan untuk menjaga daya saing industri baja sekaligus mencapai target Net Zero Emission.