Green Steel: Status Saat Ini dan Prospek di Masa Depan
Sumber: SEAISI, World Economic Forum, German Steel Federation, IFC
Pada pagelaran 2023 ASEAN Sustainability & Construction Forum yang diselenggarakan di Singapura pada 20-22 November 2023 yang lalu, Sekretaris Jenderal SEAISI, Mr. Yeoh Wee Jin, menyampaikan pertanyaan yang menarik dan menggelitik, “Are you willing to pay 30, 40, even 50% more for a house, just because it is green?”. Hampir semua peserta yang dikonfirmasi menyampaikan jawaban “tidak” atas pertanyaan tersebut. Ini adalah fakta dilematis yang saat ini sedang dihadapi oleh industri baja global. Di satu sisi, industri baja diharapkan dapat menurunkan emisi CO2 melalui adopsi teknologi rendah emisi karbon untuk menghasilkan Green Steel. Namun di sisi lain, belum terdapat pasar dalam jumlah yang signifikan yang bersedia membeli Green Steel dengan harga premium.
Apakah itu Green Steel?
Pada saat ini belum terdapat definisi Green Steel yang diterima secara universal di antara para pelaku dan pengguna produk baja. Terdapat 2 konsep yang diajukan untuk mendapatkan kesepahaman atas terminologi Green Steel. Konsep pertama diperkenalkan oleh Klöckner&Co yang membagi Green Steel menjadi 5 kategori berdasarkan jumlah emisi yang dihasilkan pada saat memproduksi baja, sebagaimana disajikan pada Gambar 1. Kategori Green Steel yang paling rendah adalah “Start” di mana emisi yang dihasilkan berada pada rentang 1400–1750 kg CO2/ton produk baja. Selanjutnya diikuti oleh kategori Step, Plus, Pro, dan yang paling rendah emisi yaitu Prime dengan jumlah emisi kurang dari 400 kg CO2/ton produk baja.
Konsep Green Steel yang kedua berasal dari German Steel Federation (GSF) yang mengelompokkan Green Steel berdasarkan kriteria emisi yang dihasilkan dan porsi scrap yang digunakan untuk memproduksi baja. Grade E merupakan produk baja dengan tingkat emisi yang relatif tinggi, sementara Grade A merupakan produk baja dengan tingkat emisi yang paling rendah. GSF menetapkan porsi penggunaan scrap sebagai kriteria dalam pengelompokan Green Steel. Semakin tinggi porsi scrap maka syarat emisi untuk tiap kelompok Green Steel akan semakin ketat.
Selain kedua konsep Green Steel di atas, berbagai negara dan lembaga juga berusaha untuk menyusun definisi Green Steel. World Economic Forum (WEF) menggunakan istilah near zero emission steel untuk produk baja dengan tingkat emisi 50-400 kg CO2e/t dan low emission steel untuk produk dengan emisi 800-2400 kg CO2e/t. Upaya yang sama untuk mendefinisikan Green Steel juga dilakukan oleh the International Energy Agency (IEA). Namun demikian, hingga saat ini belum tercapai kesepahaman universal mengenai Green Steel.
Status Teknologi Green Steel
Terdapat 2 jalur dekarbonisasi untuk jalur utama proses produksi baja yaitu DRI-EAF berbasis clean hydrogen dengan Technology Readiness Level (TRL) 6-8 dan CCUS (Carbon Capture Usage and Storage) untuk jalur BF-BOF dengan TRL 5-8. Jalur produksi EAF dengan 100 persen energi listrik terbarukan secara teknologi telah matang dan siap digunakan (TRL 11). Namun, biaya produksi untuk teknologi ini mencapai 40-70 persen lebih tinggi dibandingkan dengan proses pembuatan baja tradisional. Kesiapan berbagai teknologi Green Steel disajikan pada Gambar 3.
Penggunaan clean hydrogen untuk produksi baja pada jalur DRI-EAF berpotensi untuk mengurangi emisi hingga 97 persen. Namun, terdapat tambahan biaya produksi, green premium, sebesar 35-70 persen jika dibandingkan dengan proses produksi konvensional BF-BOF.
Selanjutnya, teknologi CCUS pada jalur produksi BF-BOF diperkirakan akan tersedia secara komersial setelah tahun 2028. Teknologi CCUS memiliki potensi untuk mengurangi emisi hingga 90 persen. Bahkan, salah satu teknologi CCUS yaitu Bioenergy with Carbon Capture and Storage (BECCS) dapat mencapai emisi negatif dari BF-BOF, tergantung pada sumber bioenergi. Sebagaimana teknologi Green Steel lainnya, teknologi CCUS akan mengakibatkan peningkatan biaya produksi, green premium, yang signifikan sekitar 65-120 persen.
Produksi baja EAF berbasis scrap dengan menggunakan 100 persen energi listrik terbarukan merupakan jalur yang saat ini paling menjanjikan untuk dapat memproduksi baja emisi mendekati nol (near zero emission steel) dengan biaya yang relatif cukup rendah. Teknologi EAF ini dapat mengurangi emisi hingga 90-95 persen dibandingkan dengan BF-BOF, dengan peningkatan biaya produksi secara marginal sekitar 8-13 persen. Namun, terdapat batasan dalam penggunaan teknologi EAF ini mengingat keterbatasan akan ketersediaan scrap. Adopsi teknologi EAF ini kemungkinan akan lebih cepat dilakukan oleh produsen baja yang berada pada wilayah di mana tersedia pasokan listrik bersih dan scrap baja dengan harga bersaing. Contohnya di China, produksi EAF diperkirakan akan tumbuh sekitar 70 persen pada tahun 2050 dibandingkan dengan tahun 2020. Sementara itu, SSAB, produsen baja terbesar di Skandinavia, baru saja meluncurkan SSAB Zero™ yang memproduksi baja daur ulang bebas emisi.
Green Procurement, Prospek ke Depan
International Finance Corporation (IFC) mencatat mulai munculnya komitmen untuk melakukan pembelian produk Green Steel. Berbagai negara dan lembaga non pemerintah serta pelaku usaha mulai berkomitmen untuk melakukan pembelian produk ramah lingkungan, termasuk Green Steel. Pembentukan The Industrial Deep Decarbonization Initiative (IDDI) yang dimotori oleh pemerintah Inggris, India, Kanada, Jerman, dan beberapa negara lainnya merupakan langkah inisiatif untuk mendorong penggunaan Green Steel. Selanjutnya, First Mover Coalition yang digagas beberapa pemerintah dan lebih dari 65 perusahaan global pada tahun 2021 telah memberikan komitmen untuk menciptakan pasar bagi Green Steel. Selain itu, terdapat kerjasama Steel Zero yang beranggotakan sekitar 25 perusahaan global yang berkomitmen menggunakan Green Steel.
Meskipun telah terdapat berbagai upaya untuk menciptakan pasar premium bagi Green Steel, namun demikian ceruk pasar Green Steel masihlah terbatas. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kemauan pelanggan untuk membayar Green Steel dengan harga premium masih terbatas. Kembali terngiang pertanyaan Sekretaris Jenderal SEAISI, Mr. Yeoh Wee Jin, “Are you willing to pay 30, 40, even 50% more for a house, just because it is green?”
Indonesia telah mencanangkan untuk mempercepat pencapaian target net zero emission di sektor industri menjadi tahun 2050 dari sebelumnya tahun 2060. Namun demikian, pertanyaan yang muncul adalah apakah kita sudah siap untuk membayar harga premium untuk Green Steel? Apakah ada kebijakan pemerintah yang telah disiapkan untuk mendorong penggunaan Green Steel? Apakah sudah ada peta jalan untuk menghasilkan Green Steel? Sudahkah kita memiliki green purchasing law sebagaimana ada di beberapa negara untuk mendorong dan menggalakkan penggunaan produk ramah lingkungan? Sungguh masih banyak pekerjaan rumah yang perlu segera dijawab agar Indonesia tidak ketinggalan dalam berpacu menciptakan industri baja nasional yang hijau dan berdaya saing global.