Dorong Penurunan Emisi, Pemerintah Negara Maju Gelontorkan Bantuan Dana Miliaran Dolar untuk Industri Baja
Sumber: IISIA, Material Economic, Climate Transparency, European Commission, Eurometal, Argusmedia, GMK centre, Nikkei, Global Australia, Industry Update
Tantangan dekarbonisasi di sektor industri baja telah menjadi salah satu perhatian penting dari berbagai negara maju dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini terbukti dari berbagai dukungan kebijakan dan bahkan bantuan pendanaan yang diberikan pemerintah negara maju tersebut dalam mengadopsi teknologi pembuatan baja rendah emisi (net zero emission).
Sepanjang tahun 2023, negara-negara Uni Eropa telah berkomitmen memberikan bantuan pendanaan kepada berbagai perusahaan baja di kawasan Eropa untuk melakukan transformasi teknologi produksi menjadi green steel dengan nilai mencapai sekitar lebih dari €10 miliar. Pemerintah Amerika Serikat pada bulan Maret 2023 telah mengumumkan bantuan pendanaan senilai USD6 miliar untuk mendukung dekarbonisasi pada industri intensif energi, termasuk baja. Sebelumnya, Pemerintah Jepang, pada Februari 2023, juga telah berkomitmen untuk memberikan bantuan pendanaan senilai ¥193,5 miliar atau sekitar USD1,34 miliar untuk mendukung proses komersialisasi produksi baja berbasis hidrogen. Dukungan pendanaan ini merupakan bagian dari Green Innovation Fund sebesar ¥2,7 triliun. Pada bulan yang sama, Pemerintah Korea Selatan, juga sudah berkomitmen untuk memberikan dukungan pendanaan sebesar ₩ 26.9 miliar penyelesaian pengembangan teknologi reduksi besi pada tahun 2025. Selain negara-negara tersebut, Kanada dan Australia juga telah menyiapkan dukungan pendanaan bagi industri baja masing-masing untuk dapat mengadopsi teknologi produksi baja rendah emisi karbon masing-masing sebesar USD400 dan 105 juta. Detail informasi lebih lanjut disajikan pada Gambar 1.
Tanpa dukungan pendanaan dari Pemerintah sebagaimana dilakukan oleh negara-negara maju, industri baja tidak akan memiliki kemampuan untuk mendanai perubahan teknologi menuju produksi rendah emisi dan akan kehilangan daya saing. Hal ini terutama disebabkan tingginya biaya investasi yang harus dikeluarkan untuk mengadopsi teknologi rendah emisi dan peningkatan biaya produksi yang akan menjadi beban. Sebagaimana disajikan pada Gambar 2, biaya produksi dapat meningkat hingga 20% pada jalur produksi rendah emisi dibandingkan jalur produksi konvensional. Sumber lain, Boston Consulting Group (BCG), memprediksi kenaikan yang relatif lebih tinggi hingga 30-70% bergantung jalur teknologi dan target emisi. Kenaikan biaya produksi sebesar ini dipastikan akan membuat industri baja tidak akan mampu bersaing tanpa adanya dukungan pendanaan dan kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, berbagai negara maju telah mengambil langkah insiatif dengan memberikan dukungan pendanaan agar industri baja masing-masing dapat memenuhi target penurunan dan tetap dapat menjaga daya saing secara global.
Perlu dicatat bahwa selain CBAM yang telah dicanangkan sebagai kebijakan untuk mengendalikan emisi di sektor industri baja global, belum terdapat regulasi lainnya yang mengikat dan akan menjadi instrumen perdagangan internasional. Dengan demikian maka produk baja yang dihasilkan melalui jalur teknologi rendah emisi akan bersaing dengan produk baja konvensional yang masih memiliki emisi relatif tinggi. Pada saat ini meskipun sudah terdapat beberapa inisiatif untuk menciptakan pasar baja rendah emisi dengan harga premium melalui berbagai program, seperti: The Industrial Deep Decarbonization Initiative dan First Mover Coalition (Green Steel: Status Saat Ini dan Prospek di Masa Depan) serta beberapa inisiatif lainnya. Namun demikian jumlah ceruk pasar ini masihlah sangat terbatas. Oleh karena itulah dukungan Pemerintah mutlak diperlukan dalam melakukan transformasi produksi baja rendah emisi dengan tetap menjaga daya saing secara global.
Bagaimana dengan Industri Baja Indonesia?
Industri Baja Nasional, bersama-sama dengan industri baja lainnya di kawasan ASEAN, saat ini justru mengalami ledakan emisi akibat investasi berbasis batubara yang dilakukan pada beberapa tahun terakhir.
Investasi yang dilakukan di Indonesia terutama didorong oleh larangan ekspor mineral yang diberlakukan oleh pemerintah serta pertumbuhan konsumsi baja domestik yang menarik. Larangan ekspor mineral, khususnya bijih nikel, telah menarik minat investor produsen baja nir karat (stainless steel) untuk berinvestasi di Indonesia guna mengamankan pasokan bahan baku bagi industri baja nir karat di Tiongkok sekaligus meningkatkan akses pasar global. Di sisi lain, investor baja dari Korea dan Tiongkok juga melihat daya tarik pasar baja karbon Indonesia yang terus mengalami pertumbuhan dan akan terus tumbuh pesat dalam jangka-panjang. IISIA memperkirakan bahwa Indonesia akan memerlukan baja hingga lebih dari 100 juta ton untuk pembangunan Indonesia Emas. Baik investasi di sektor baja nir karat dan baja karbon, sebagian besar menggunakan jalur proses berbasis batu bara. Hal inilah yang mengakibatkan Indonesia mengalami peningkatan emisi karbon secara signifikan. Pada tahun 2016 emisi karbon industri baja nasional diperkirakan sekitar 1.656 kg CO2/ton produk, di bawah rata-rata emisi baja global, dan meningkat tajam menjadi 3.913 kg CO2/ton produk pada tahun 2019 (Gambar 3)
Dengan demikian industri baja nasional memiliki tantangan yang besar dalam penurunan emisi karbon. Perlu dukungan kebijakan dan pendanaan dari pemerintah agar industri baja nasional siap bersaing di kancah global baik dalam memenuhi tuntutan baja karbon rendah emisi dengan tetap menjaga daya saing dan profitabilitas untuk keberlangsungan usaha. Selain itu, kebijakan yang akan diambil harus senantiasa memperhatikan kebijakan di negara lainnya, agar tidak berdampak pada hilangnya daya saing industri baja nasional.