Dampak CBAM Terhadap Ekspor Produk Baja RI
Sumber: IISIA, European Commission, BPS, Climate Transparency,
Melalui Paris Agreement, berbagai negara bersepakat bahwa perubahan iklim merupakan permasalahan global yang memerlukan solusi bersama. Menindaklanjuti kesepakatan tersebut, negara-negara Uni Eropa (UE) telah mencanangkan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) yang paling agresif dengan target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2050, mendahului negara-negara lainnya yang pada umumnya menetapkan target NZE pada tahun 2060 atau setelahnya. UE telah menyadari bahwa untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca tersebut terdapat risiko ‘kebocoran karbon’ apabila di negara non-UE diberlakukan kebijakan iklim yang lebih longgar dibandingkan dengan UE. Kebocoran karbon akan terjadi ketika perusahaan-perusahaan yang berbasis di UE memindahkan produksi padat karbon ke luar negeri ke negara-negara yang menerapkan kebijakan iklim yang tidak seketat di UE, atau ketika produk-produk UE digantikan oleh produk impor yang lebih padat karbon.
Untuk mengatasi kebocoran karbon tersebut maka UE telah menetapkan kebijakan Mekanisme Penyesuaian Perbatasan Karbon (Carbon Border Adjustment Mechanism, CBAM). Pada tahap awal, CBAM akan berlaku untuk impor barang-barang tertentu dengan tingkat emisi karbon yang tinggi dan memiliki risiko kebocoran karbon yang paling signifikan, yaitu: semen, besi dan baja, aluminium, pupuk, listrik, dan hidrogen. Melalui penerapan CBAM diharapkan dapat diciptakan iklim persaingan yang adil antara produk perusahaan-perusahaan UE yang telah memenuhi target penurunan emisi dengan barang-barang impor yang masuk ke UE dengan tingkat emisi yang lebih tinggi. Berbagai rujukan menunjukkan bahwa produk baja dengan emisi karbon yang rendah akan memiliki biaya produksi yang lebih tinggi hingga 20%, bahkan lebih, dibandingkan dengan produk baja konvensional yang diproduksi melalui jalur produksi blast furnace (Dorong Penurunan Emisi, Pemerintah Negara Maju Gelontorkan Bantuan Dana Miliaran Dolar untuk Industri Baja).
UE telah memulai tahap transisi penerapan CBAM pada tanggal 1 Oktober 2023 dan secara efektif akan memberlakukan CBAM pada 1 Januari 2026. Tujuan dari periode transisi ini adalah untuk menjadi periode percontohan dan pembelajaran bagi seluruh pemangku kepentingan (importir, produsen dan pihak berwenang) dan untuk mengumpulkan informasi berguna mengenai emisi dari masing-masing produk guna menyempurnakan metodologi untuk diterapkan pada periode definitif.
Penerapan CBAM dipastikan akan berdampak pada ekspor produk baja ke Eropa, termasuk yang berasal dari Indonesia.
Ekspor Produk Baja ke Uni Eropa
Ekspor produk baja ke Eropa sesungguhnya sangat kecil dibandingkan dengan keseluruhan ekspor produk baja nasional sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1. Pada tahun 2022, produsen baja nasional melakukan ekspor produk baja ke UE sejumlah 975 ribu ton atau hanya sekitar 7% dari total volume ekspor. Dari sisi nilai, ekspor produk baja nasional ke UE mencapai USD1.049 juta atau hanya mencapai 4% dari keseluruhan ekspor produk baja. Negara tujuan ekspor produk baja nasional terbesar adalah Tiongkok dan Taiwan yang masing-masing memiliki volume 8,3 (55%) dan 1,3 (8%) juta ton dengan nilai mencapai USD19 (67%) dan USD2,2 (8%) miliar.
Meskipun volume dan nilai ekspor produk baja ke UE relatif kecil namun demikian cukup strategis mengingat UE adalah tujuan ekspor terbesar nomor 3 dari sisi volume dan nomor 5 dari sisi nilai pada tahun 2022. Di samping itu, ekspor ke UE menunjukkan pertumbuhan volume dan nilai yang sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir dengan masing-masing Compound Annual Growth Rate (CAGR) mencapai 30% dan 34% sebagaimana disajikan pada Gambar 2. Sepanjang semester pertama tahun 2023, volume ekspor ke UE relatif masih tinggi mencapai 628 ribu ton. Volume ini sedikit mengalami penurunan sekitar 5% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Dari sisi nilai terjadi penurunan yang lebih signifikan hingga mencapai 19% yang terutama disebabkan oleh penurunan harga baja. Dengan memperhatikan tren peningkatan ekspor baja ke UE dalam beberapa tahun terakhir, pasar UE sesungguhnya merupakan pasar yang menjanjikan di masa yang akan datang.
Dampak CBAM terhadap Daya Saing Produk Baja Nasional di Pasar Uni Eropa
Penerapan CBAM akan mengakibatkan tambahan biaya dalam bentuk pembelian sertifikat emisi karbon. Tambahan biaya ini akan sangat bergantung pada jumlah emisi yang dihasilkan oleh produsen baja. Sebagai ilustrasi, dengan menggunakan data emisi rata-rata yang dihasilkan produsen baja nasional pada tahun 2019 dan volume impor tahun 2022 yang mencapai 975 ribu ton maka nilai sertifikat yang harus dibayarkan akan mencapai €383 juta atau senilai €390 per ton produk baja sebagaimana disajikan pada Gambar 3. Biaya sertifikat ini sangat tinggi dan dapat dipastikan akan mengakibatkan produk baja Indonesia tidak akan mampu bersaing dengan produk baja Eropa dan negara lainnya yang memiliki emisi karbon rendah.
Sesungguhnya nilai emisi yang tinggi terdapat pada proses produksi baja yang menggunakan jalur produksi berbasis batubara (coal based ironmaking). Pada saat ini, jalur produksi coal based tersebut merupakan jalur proses produksi utama yang dipergunakan industri baja nasional untuk menghasilkan produk ekspor ke pasar UE, khususnya untuk produk jenis pelat baja karbon dan stainless steel. Dengan demikian dapat dipastikan CBAM akan berimbas pada penurunan ekspor baja ke UE secara signifikan.
Selain dampak langsung terhadap ekspor produk baja nasional ke pasar UE, penerapan CBAM juga berpotensi akan membawa dampak pada ekspor produk baja ke Tiongkok dan Taiwan yang merupakan pasar ekspor utama produk baja nasional. Hal ini disebabkan karena produk yang dihasilkan oleh produsen baja Tiongkok dan Taiwan menggunakan bahan baku yang merupakan produk dari industri baja nasional, khususnya untuk produk baja jenis stainless steel. Selain itu, penerapan CBAM dikhawatirkan akan diikuti oleh penerapan regulasi sejenis di negara tujuan ekspor lainnya sehingga dapat berdampak secara signifikan terhadap ekspor produk baja nasional di masa yang akan datang.
Namun demikian, sebagian produsen baja nasional sesungguhnya memiliki fasilitas produksi scrap-based EAF. Emisi yang dihasilkan oleh jalur produksi scrap-based EAF ini sangat rendah dibandingkan dengan jalur produksi lainnya (Gambar 4) dan jalur ini merupakan jalur produksi rendah emisi karbon (green steel) yang didambakan oleh banyak produsen baja dunia. Jalur produksi EAF menghasilkan emisi hanya 0.4 ton CO2 per ton produk baja, jauh lebih rendah dibandingkan dengan jalur BF-BOF yang mencapai 2.3 ton CO2 per ton produk baja. Dengan penggunaan listrik yang diproduksi melalui net zero emission tingkat emisi EAF bahkan bisa ditekan lebih lanjut menjadi hanya 0.1 ton CO2 per ton produk baja.
Pada saat ini kapasitas produksi nasional untuk jalur scrap-based EAF ini mencapai sekitar 6 juta ton, namun memiliki tingkat utilisasi yang relatif masih rendah karena terdapat kelebihan kapasitas, khususnya untuk segmen long products, serta kesulitan dalam mendapatkan bahan baku scrap. Pasar UE setelah pemberlakuan CBAM dan juga pasar lainnya yang mensyaratkan produk baja rendah emisi karbon (green steel) merupakan pasar yang sangat potensial bagi produsen baja nasional dengan jalur produksi scrap-based EAF.
Penutup
Penerapan CBAM akan berdampak langsung pada penurunan daya saing produsen baja nasional mengingat tingkat emisi karbon yang relatif tinggi yang berdampak pada mahalnya biaya sertifikat emisi karbon. Selain itu, penerapan CBAM juga bisa berdampak tidak langsung mengingat produk baja nasional yang diekspor ke Tiongkok dan Taiwan juga diolah lebih lanjut untuk diekspor ke UE. Dengan demikian maka penerapan CBAM akan berdampak terhadap penurunan kinerja ekspor produk baja di masa depan.
Produsen baja nasional memiliki jalur scrap-based EAF dengan tingkat emisi sangat rendah dan berpotensi untuk dipasarkan di pasar UE dan pasar sejenis yang mensyaratkan produk baja rendah emisi karbon. Jalur ini perlu dioptimalkan lebih lanjut dengan dukungan Pemerintah, termasuk melalui dukungan kebijakan dalam bentuk kemudahan mendapatkan bahan baku scrap. Dukungan pemerintah juga diperlukan untuk melakukan transisi dan adopsi teknologi net zero emission lebih lanjut sebagaimana dilakukan oleh berbagai negara maju (Dorong Penurunan Emisi, Pemerintah Negara Maju Gelontorkan Bantuan Dana Miliaran Dolar untuk Industri Baja).