Pemerintah AS Kembali Menaikkan Tarif Bea Masuk Baja Tiga Kali Lipat. Apakah Perlu Diikuti Indonesia?
Sumber: World Steel Association, American Iron and Steel Institute, S&P Global, GMK Center, SteelOrbis, OECD, Global Forum on Steel Excess Capacity, Argus Media
Industri besi dan baja Amerika Serikat (AS) memiliki sejarah yang sangat panjang dengan mulai memproduksi baja sejak awal abad-19. Industri ini juga merupakan pioner bagi perkembangan dan penerapan berbagai teknologi produksi besi dan baja dan menjadi produsen baja terbesar di dunia pada periode tahun 1910-1969. Beberapa perusahaan baja AS, seperti US Steel, juga merupakan salah satu perusahaan baja terbesar di dunia. Dominasi AS mulai tergeser oleh Tiongkok sejak tahun 1990-an, meskipun AS tetaplah merupakan raksasa produsen baja dunia. Pada tahun 2023 AS adalah produsen baja terbesar keempat di dunia, setelah Tiongkok, India, dan Jepang dengan produksi mencapai 80,7 juta ton.
Menurut American Iron and Steel Institute (AISI), industri baja di AS saat ini merupakan industri hi-tech yang telah menggunakan teknologi canggih dan otomasi yang memungkinkan industri untuk berproduksi secara efisien. AISI menyampaikan bahwa industri baja AS merupakan industri dengan konsumsi energi paling rendah di dunia. Namun demikian, industri baja AS ternyata masih tidak dapat bersaing dengan produk baja Tiongkok. Harga produk baja impor dari Tiongkok sangat rendah sehingga produsen baja AS tidak mampu bersaing untuk mempertahankan pasar domestik yang dimiliki. Pemerintah AS menuduh produsen baja Tiongkok menerima berbagai fasilitas pemerintah yang dianggap tidak adil dalam berbagai bentuk subsidi, antara lain tax rebate, cash grant & capital infusion, land use, dan utilities price. AISI dan beberapa asosiasi produsen baja AS melaporkan bahwa industri baja Tiongkok telah menerima dana dukungan pemerintah hingga lebih dari USD52 miliar pada tahun 2006 dan dukungan ini terus diberikan hingga tahun sekarang. Selain subsidi, praktik dumping juga ditenggarai menjadi penyebab harga produk baja dari Tiongkok menjadi sangat rendah dan mengakibatkan produsen baja AS tidak mampu bersaing.
Pemerintah AS Menerapkan Tarif Bea Masuk Tambahan 3x Lipat untuk Melindungi Industri Baja
Untuk melindungi industri bajanya dari produk baja impor asal Tiongkok, pemerintah AS telah menerapkan berbagai kebijakan, seperti trade remedies. Hingga saat ini, AS merupakan negara yang paling banyak menerapkan trade remedies untuk produk baja, dengan total 465 trade remedies yang terdiri dari 347 anti-dumping, 115 countervailing duties, dan 3 safeguard. Tarif trade remedies ini berkisar 2,47% sampai dengan 195,6%. Selain itu, pemerintah AS juga telah mengenakan bea masuk sebesar 25% terhadap impor baja, yang tercantum dalam Section 232 sejak 8 Maret 2018 pada masa Presiden Donald Trump. Dengan mempertimbangkan bahwa industri baja AS masih mengalami ancaman dan memerlukan perlindungan, Presiden AS, Joe Bidden, pada bulan Mei 2024 telah mengumumkan untuk menaikkan tarif tambahan pada Section 301 hingga 3x lipat dari 0-7,5% menjadi 25% untuk produk baja dari Tiongkok. Ini merupakan bentuk perlindungan yang sangat masif dari Pemerintah AS terhadap industri bajanya. Total tarif produk baja dari Tiongkok dengan diberlakukannya trade remedies, tarif Section 232 dan Section 301 bisa mencapai lebih dari 200%.
Lebih lanjut, pemerintah AS berencana menerapkan tarif sebesar 25% untuk produk baja yang masuk ke AS melalui Meksiko jika baja tersebut tidak dilebur dan dituang di Amerika Utara. Langkah ini diambil untuk menutup celah perdagangan yang memungkinkan produk baja Tiongkok menghindari tarif AS dengan mengalihkan impor melalui Meksiko.
Masifnya dukungan Pemerintah AS terhadap industri baja menunjukkan nilai strategis industri baja bagi negara super power tersebut. Selain itu, Industri baja AS yang modern dan canggih ternyata tidak mungkin dapat bertahan tanpa perlindungan dan dukungan pemerintah dalam menghadapi serbuan produk baja impor asal Tiongkok
Dukungan Pemerintah Global untuk Perlindungan Industri Baja
Selain AS, upaya perlindungan lain berupa tarif impor juga diterapkan oleh berbagai negara. Misalnya, Brasil akan menerapkan kuota impor dan menaikkan pajak impor menjadi 25% pada 11 kategori produk baja gulungan. Keputusan ini diambil setelah Brazilian Steel Institute IABr, yang mewakili semua produsen baja nasional, meminta pemerintah Brasil untuk menaikkan pajak impor sesuai dengan tarif impor 25% yang diterapkan oleh AS. Langkah ini bertujuan untuk melindungi produsen baja Brasil dari banjir impor baja murah, khususnya dari Tiongkok. Sebelumnya, pemerintah Meksiko telah mengumumkan program tarif baru yang akan menerapkan bea masuk antara 20-50% untuk produk baja yang diimpor dari negara-negara tanpa perjanjian perdagangan bebas dengan Meksiko. Tarif ini akan berlaku hingga April 2026 untuk 99 jenis produk dengan HS Code 72 dan 73. Dalam upaya mempromosikan produksi dalam negeri, Kementerian Ekonomi menerbitkan dekrit presiden untuk menetapkan tarif sementara antara 5-50% untuk impor barang-barang termasuk baja, aluminium, tekstil, pakaian, alas kaki, kayu, plastik, produk kimia, kertas dan karton, keramik, kaca, peralatan listrik, peralatan transportasi, alat musik, dan furnitur, serta barang lainnya. Langkah ini bertujuan untuk memberikan kepastian dan kondisi pasar yang adil bagi sektor industri nasional yang rentan akibat praktik perdagangan internasional yang merugikan, serta mendukung pengembangan industri dalam negeri dan pasar domestik. Paket tarif baru ini diumumkan delapan bulan setelah Meksiko menerapkan tarif sementara sebesar 25% untuk 392 jenis barang, termasuk produk baja, hingga Juli 2025 sebagai respon terhadap kekhawatiran atas impor baja besar-besaran yang dapat mengganggu pasar domestik.
Tindakan untuk melindungi industri baja domestik juga dilakukan oleh Uni Eropa dengan memperpanjang tindakan pengamanan (safeguard) dengan Tariff Rate Quota sebesar 25% selama dua tahun hingga akhir Juni 2026. Selain itu, Komisi Eropa juga memperkenalkan pembatasan sebesar 15% pada impor HRC dan wire rod dalam kuota triwulanan untuk melindungi industri baja Eropa lebih lanjut. Selain tindakan pengamanan, Uni Eropa juga menerapkan kebijakan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang menjadi barrier bagi produk baja impor dengan emisi karbon tinggi untuk masuk ke Uni Eropa. Kebijakan CBAM ini tidak hanya bertujuan untuk mencapai tujuan iklim tetapi juga melindungi produsen baja Uni Eropa. Tarif sertifikasi CBAM diperkirakan akan mencapai €300-400 per ton, sebuah angka yang sangat besar yang akan dapat melindungi industri baja Eropa yang telah melakukan investasi untuk menurunkan emisi karbonnya. Langkah serupa dengan CBAM juga akan diterapkan oleh Inggris mulai Januari 2027.
Langkah-langkah proteksionis yang diambil oleh AS, Brasil, Meksiko, Uni Eropa, dan Inggris merupakan respon atas persaingan tidak adil. Akar masalah utama dari persaingan tidak adil dalam industri baja global adalah adanya kelebihan kapasitas baja global. The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) melaporkan bahwa kapasitas produksi global mengalami kelebihan sangat besar hingga mencapai 625 juta ton, dan diperkirakan akan terus bertambah dengan investasi baru sebesar 158 juta ton pada periode 2024-2026. Kelebihan kapasitas ini terutama terjadi di Tiongkok yang kemudian memproduksi baja dalam jumlah signifikan untuk diekspor dengan harga yang sangat murah. Produk baja murah asal Tiongkok ini ditenggarai mendapatkan subsidi besar dari pemerintah dan melakukan praktik dumping, sehingga menciptakan persaingan tidak sehat di pasar global dan merugikan industri baja di negara-negara lain.
Peningkatan ekspor baja murah asal Tiongkok telah menurunkan harga baja secara global. Produsen dari berbagai negara harus menurunkan harga agar dapat bersaing dengan produk baja Tiongkok. Beberapa produsen bahkan tidak mampu lagi bersaing dan harus menutup pabriknya. Ini terjadi di AS, Uni Eropa, Inggris dan berbagai negara di kawasan Amerika Latin dan ASEAN.
Kondisi Industri Baja Indonesia
Impor Baja Tiongkok ke Indonesia
Indonesia tidak terkecuali dalam menghadapi tantangan masuknya produk baja murah asal Tiongkok. Pada periode 2020-2023, Tiongkok menjadi sumber utama impor baja ke Indonesia dengan tren yang terus meningkat. Pada tahun 2023, impor dari Tiongkok mencapai 4,16 juta ton, meningkat signifikan sebesar 35,4% dibandingkan tahun 2022 dan mewakili 28% dari total impor baja.
Selain bersumber dari Tiongkok, impor baja juga berasal dari Jepang, Oman, Korea Selatan, Rusia, dan beberap negara dari kawasan ASEAN. Perhatian utama pelaku industri baja nasional adalah produk dari Tiongkok yang terkenal sangat murah sehingga mengakibatkan produsen baja nasional sangat sulit bersaing. Ini merupakan permasalahan yang sama sebagaimana dihadapi perusahaan baja AS, Uni Eropa, Amerika latin dan berbagai negera di kawasan ASEAN. Harga yang murah patut dicurigai sebagai bentuk predatory pricing yang mengakibatkan industri baja nasional bangkrut dan Indonesia bergantung pada produk impor, khususnya dari Tiongkok.
Apakah Industri Baja Nasional Perlu Perlindungan Tambahan?
Indonesia pada saat ini masih sangat terbatas dalam menggunakan instrumen trade remedies untuk melindungi industri baja nasional. Sebagaimana data yang disajikan pada Gambar 2, Indonesia hanya menggunakan instrumen trade remedies sebanyak 45 dalam bentuk Anti Dumping dan Safeguard, jauh dibandingkan AS, Kanada, Uni Eropa, bahkan negara tetangga seperti Thailand.
Minimimnya penggunaan instrumen perlindungan perdagangan, seperti trade remedies, di Indonesia dikhawatirkan akan menjadikan negara ini target ekspor bagi berbagai negara produsen baja global. Indonesia menjadi lebih mudah dimasuki produk baja impor dibandingkan negara lainnya yang telah memproteksi industri bajanya dengan berbagai instrumen trade remedies dan bea masuk impor. Oleh karena itu, dukungan lebih lanjut diperlukan untuk melindungi industri baja nasional dari serbuan produk impor, khususnya dari Tiongkok. Dukungan seperti penerapan bea masuk sebesar 100%-200% sebagaimana direncanakan untuk komoditas tekstil dan produk tekstil, barang tekstil sudah jadi, pakaian jadi, alas kaki, produk kecantikan, keramik, dan perangkat elektronik juga perlu diterapkan untuk produk impor besi dan baja. Angka ini juga selaras dengan angka yang diterapkan AS dan negara lainnya dalam melindungi industri baja nasional yang dimiliki.
Perlunya perlindungan bagi industri baja nasional ini juga dapat dilihat dari nilai penting industri baja dalam neraca perdagangan nasional. Berdasarkan nilai impor HS 2 digit selama tahun 2018-2023, produk baja konsisten menempati peringkat empat terbesar, kecuali pada tahun 2020 saat mengalami penurunan nilai impor menjadi peringkat lima. Ini menunjukkan bahwa impor baja sangat penting dan secara signifikan mempengaruhi neraca perdagangan. Membatasi impor baja akan memperbaiki neraca perdagangan secara keseluruhan.
Lebih lanjut, nilai impor produk baja pada periode tahun 2019-2023 termasuk yang tertinggi dibandingkan 7 (tujuh) komoditas yang akan dikenakan bea masuk di atas 100% (Tabel1). Berdasarkan nilai impor HS 2 Digit, komoditas baja (HS 72 dan 73) berada pada peringkat 3 nilai impor komoditas non-migas terbesar dengan nilai berkisar USD9-18 miliar. Nilai impor produk baja ini di bawah nilai impor HS 85 untuk Mesin dan Peralatan Elektronika yang berkisar USD19-26 miliar, di mana produk elektronika yang akan dikenakan bea masuk di atas 100% menjadi salah satu bagiannya. Nilai impor yang cukup besar berikutnya adalah untuk komoditas Tekstil dan Produk Tekstil (HS 50-60) dengan nilai berkisar USD6-9 miliar yang merupakan peringkat impor terbesar nomor 5-6. Impor komoditas lainnya seperti pakaian jadi (termasuk dalam HS 61 dan 62), barang tekstil lainnya (termasuk dalam HS 63), produk kecantikan (termasuk dalam HS 33), alas kaki (HS 64), keramik (HS 69) merupakan produk dengan peringkat nilai impor di atas 25 dengan nilai impor kurang dari USD1,5 miliar.
Kelebihan kapasitas global, proteksionisme, dan praktik perdagangan tidak adil akan menjadikan Indonesia sebagai sasaran impor dari negara lain jika tidak ada dukungan kebijakan yang memadai. IISIA mengapresiasi berbagai kebijakan yang telah dilakukan pemerintah dan mengharapkan dukungan lebih lanjut, khususnya untuk memasukkan produk besi dan baja yang sangat strategis dalam neraca perdagangan ke dalam komoditas yang akan dilindungi pemerintah melalui peningkatan bea masuk lebih dari 100%. Kebijakan P3DN oleh Kemenko Bidang Kemaritiman & Investasi dan Kementerian Perindustrian, kebijakan Neraca Komoditas oleh Kemenko Bidang Perekonomian dan Kementerian Perindustrian, kebijakan SNI oleh Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan, kebijakan Trade Remedies oleh Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan, kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) oleh Kementerian Perindustrian dan ESDM, kebijakan scrap baja sebagai bahan baku daur ulang industri oleh Kementerian Perindustrian dan Kementerian KLHK, serta berbagai kebijakan lainnya merupakan instrumen pendukung industri baja yang sangat penting dan perlu terus ditingkatkan efektivitasnya. Kebijakan pemerintah untuk mendukung keberlangsungan industri baja nasional semakin dibutuhkan dalam menghadapi tantangan global yang semakin berat. Dengan langkah-langkah yang tepat, kemandirian industri baja nasional diharapkan dapat tercapai.
Industri baja merupakan industri sangat penting, baik karena posisinya sebagai mother of all industries maupun dampak ekonomi yang dimilikinya. Oleh karenanya, perlindungan terhadap industri baja nasional menjadi sangat penting untuk memastikan keberlanjutan dan kemandirian industri nasional secara keseluruhan sekaligus menjaga manfaat ekonomi yang dihasilkan industri baja bagi perekonomian nasional.
***